Kamis, 02 September 2010

NASA Temukan 100 Planet Mirip Bumi


Tepat di luar sistem tata surya kita, NASA telah menemukan lebih dari 100 planet-baru mirip bumi. Suatu harapan baru bagi mereka yang tertarik pada kehidupan di luar Bumi.

Badan antariksa ini mengatakan bahwa pesawat antariksa Kepler telah mengumpulkan data lebih dari 156.000 bintang dalam mencari tanda-tanda planet yang mengorbitnya, selama enam minggu.

Data tersebut menunjukkan ada lima sistem tata surya baru dalam Bima Sakti serta 700 benda langit yang kemungkinan merupakan planet baru. 140 diantaranya dianggap mirip dengan planet bumi kita, yang komposisinya dapat mendukung pengembangan kehidupan.

Sebelum adanya laporan NASA, sekitar 450 planet telah ditemukan di luar tata surya kita selama 15 tahun terakhir. Namun sebagian besar dikenal tidak bersahabat bagi kehidupan dan memiliki suhu permukaan yang sangat tinggi.

Kepler diluncurkan pada April 2009 dan pada Juni telah menempati posisinya untuk memantau ruang di luar tata surya. Wahana antariksa ini akan melakukan misi empat tahun untuk menguji struktur dan keanekaragaman sistem planet dalam Bima Sakti dengan menggunakan kamera 95-megapixel.

"Sementara penelitian secara menyeluruh sedang dilakukan, implikasinya adalah bahwa banyak sistem planet memiliki planet ganda," ujar William Borucki, investigator misi ini, kepada Mail Online. (EpochTimes/sua)


Sumber :
Helena Zhu
http://erabaru.net/iptek/81-antariksa-astronomi/15976-nasa-temukan-100-planet-mirip-bumi
30 Juli 2010

Astronomy Magazine How To - Observe Galaxies

Birth of the Solar System

Astronomi

Bambang hidayat : Merambah Lebih dari Astronomi


Ranah astronomi bagi Bambang Hidayat bisa jadi hanya merupakan sebuah pijakan awal bagi pemikirannya yang meluas, seluas ruang angkasa tempat rasi bintang bertakhta. Berbincang dengan profesor astronomi yang purnatugas tahun 2004 ini seperti menyelami ruang (angkasa) ilmu pengetahuan, pendidikan, sejarah, dan kebangsaan.

Kepedulian dan kiprahnya selama ini merupakan wujud dari keinginan mengembangkan dan mewariskan ilmu pengetahuan kepada generasi penerus.

Kepala Observatorium Bosscha ITB di Lembang selama 31 tahun ini bertutur tentang upayanya mewujudkan School of Astronomy. "Kalau school of thought lebih kurang sudah ada, tetapi untuk membangun gedung observatorium baru Anda perlu uang banyak." Rintisannya membangun sebuah radiotelescope bekerja sama dengan India, dalam program Giant Equatorial Radio Telescope di Limapuluh Kota, Sumatera Barat, pupus akibat ketiadaan dana. Namun, Library of Astronomy di Bosscha bisa dibanggakan karena up to date. Di luar itu, Bambang merasa masih banyak yang harus dilakukan.

Pria yang lahir di Kudus, 18 September 1934, dan pernah menjabat sebagai Wakil Presiden International Astronomical Union (1994–2000) ini masih mencita-citakan ada suatu kelompok inti ilmuwan yang kuat yang bisa menjadi idola bangsa ini. Ilmuwan tersebut harus bisa memberikan nilai tambah pada ilmu pengetahuan untuk bisa diwariskan demi kontinuitas. "Dan, jangan lupakan kontribusi pendahulu. Coba pahami logika yang mendorong sebuah keputusan di masa lalu," ungkapnya.

Ilmu pengetahuan adalah untuk membuat orang bisa memilih. Bukan untuk melakukan pemaksaan.


Tahun 1966 merupakan awal dia menulis di harian ini. Pagi itu, belum lagi ia duduk di ruang tamunya yang dikelilingi "dinding buku", profesor astronomi itu langsung menyorongkan tulisan pertamanya di Kompas, sebuah surat pembaca berjudul "Pentjabutan Gelar" (Kompas, 16/9/1966) di halaman 2. Surat itu menanggapi tuntutan agar gelar doktor honoris causa kepada presiden pertama RI, Soekarno, dicabut.

Sebagai ilmuwan yang berpegang pada kebenaran, Bambang tak gentar menuliskan pandangannya bahwa gelar akademis tak dapat dicabut karena "kebenaran ilmiah adalah mutlak, dalam arti mengandung unsur yang dapat diverifikasikan." "Keadaan (politik) masih sulit waktu itu. Saya bukan membela Soekarno, melainkan saya membela kebenaran ilmiah," ungkapnya. Tulisannya terus hadir di harian ini dalam berbagai bentuk, mulai dari surat pembaca, resensi buku, catatan ilmu pengetahuan dan teknologi, hingga opini.

Berdasarkan kebenaran ilmiah pula dia berhasil membendung pembangunan gedung Pertamina di kawasan Observatorium Bosscha di Lembang. Untuk itu dia senang karena, "Pemerintah menghargai ilmu pengetahuan." Masih soal kebenaran ilmiah, Bambang amat prihatin atas berbagai kasus plagiat yang melanda sejumlah perguruan tinggi papan atas di negeri ini. Dia menegaskan pentingnya ilmuwan memegang etika dan tanggung jawab di dunia ilmu pengetahuan. Etiknya melarang dilakukannya: fabrikasi (mengarang cerita), falsifikasi (pemalsuan data), dan plagiat (menjiplak karya orang lain).

Prinsip ilmiah yang dipegangnya itu diperluasnya ke berbagai ranah kehidupan, terutama sejarah. Dia berbicara tentang Soekarno, kenegaraan, kecintaan akan Tanah Air, tentang sejarah si pelaku (petit histoire), dan tentang bagaimana membentuk masyarakat ilmiah pada masa depan. Pengembaraannya itu telah mempertemukannya dengan Roeslan Abdulgani, Mohamad Rum, penulis novel berbahasa Jawa, Suparto Brata—yang sering diteleponnya—untuk diajak berdiskusi, dan berbagai tokoh nasional lainnya.

"Ilmu pengetahuan adalah untuk membuat orang bisa memilih". Bukan untuk melakukan pemaksaan. Hal itu, antara lain, yang dimaksud Bambang seperti terungkap pada orasi 3 Juni 2010. Maka, dia pun prihatin menyaksikan demo mahasiswa yang menyertakan kekerasan.

"Mahasiswa mestinya bisa mengajukan argumen ilmiah untuk menguatkan pendapatnya agar orang lain paham. Bukan memaksakan kehendak dengan menggunakan otot." Bambang pun prihatin. Dan, ia pun terus menulis dan menulis dari rumahnya yang asri di kompleks dosen ITB di Dago, Bandung, tentang berbagai hal, dengan sentralnya, ilmu pengetahuan. (Brigitta Isworo Laksmi)


Sumber :
http://nasional.kompas.com/read/2010/06/28/11114377/Merambah.Lebih.dari.Astronomi
28 Juni 2010

Wow, Bintang Baru Dikelilingi 7 Planet


Para astronom Eropa menemukan sebuah bintang yang dikelilingi tujuh planet. Ini merupakan penemuan eksoplanet terbesar sejak 15 tahun lalu. Bintang ini mirip dengan sistem tata surya. Meski begitu, belum ditemukan bukti bahwa tata surya itu layak menjadi tempat tinggal manusia kelak.

Bintang itu adalah HD 10180, berada pada jarak 127 tahun cahaya dari Bumi di konstelasi bintang selatan Hydrus, ular air jantan, demikian laporan European Southern Observatory (ESO) dalam siaran pers Selasa (24/8/2010). Mereka mendeteksi lima planet besar, seukuran Neptunus, tetapi mengorbit dalam setahun antara enam hari dan 600 hari. Dua planet lain, yang satu seukuran Saturnus, mengorbit selama 2.200 hari. Sedangkan planet lainnya, 1,4 kali massa Bumi, mengorbit bintang HD 10180 hanya dalam waktu 1,18 hari Bumi mengitari Matahari.

Jadi, ini merupakan sistem bintang dengan tujuh planet. Sedangkan sistem Matahari memiliki delapan planet. Astronom ESO, Christophe Lovis, mengatakan, ”Kita tengah memasuki era baru penelitian eksoplanet, studi tentang sistem planet yang kompleks dan bukan planet satu per satu.” Menurut NASA, sejak 1995, terdeteksi 402 bintang dengan planet-planetnya. Sejauh ini tidak ada di antara planet-planet itu, meski mirip dengan Bumi, memiliki suhu yang memungkinkan adanya air dan kehidupan. (AFP/YUN)

Sumber :
http://sains.kompas.com/read/2010/08/26/10480889/Wow..Bintang.Baru.Dikelilingi.7.Planet
26 Agustus 2010

Sumber Gambar:
http://sains.kompas.com/read/2010/08/26/10480889/Wow..Bintang.Baru.Dikelilingi.7.Planet

Bangsa yang Kuat, Kuasai Iptek Dirgantara


Al-Quran dengan isyarat-isyaratnya mendorong eksplorasi antariksa dengan sains tentang fenomena langit dan sifat fisis lainnya. Kekuatan sains dan teknologi mampu menembus penjuru langit dan bumi. Penguasaan sains dan teknologi antariksa juga akan mendorong pengembangan wahana antariksa. Demikian diungkapkan Profesor Riset Astronomi Astrofisika Lapan, Prof Dr Thomas Djamaluddin saat ceramah hikmah pada Peringatan Nuzulul Quran tingkat Nasional di Istana Negara, Jakarta, Kamis (26/8).

Bangsa yang kuat adalah bangsa yang kokoh dalam penguasaan sains dan teknologi. Penguasaan pesawat terbang, roket, dan satelit menjadi mutlak diperlukan untuk penguasaan langit yang pada gilirannya akan menguasai penjuru bumi. Di hadapan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono beserta jajaran menteri, Thomas menekankan, teknologi antariksa memudahkan komunikasi navigasi di bumi, mengamati perilaku alam, dan mengeksplorasi kandungan sumber dayanya.

“Dengan motivasi tinggi, bangsa kita pun sedang berupaya membangun kekuatan itu, walau dengan segala keterbatasan,” ujarnya. Kemandirian di bidang teknologi antariksa merupakan keunggulan suatu bangsa. Dalam hal penerapan teknologi terbaru, sektor swasta bisa berperan besar di dalamnya. Namun, untuk kemandirian, peran pemerintahlah yang menjadi dominan.

Sejak peluncuran Satelit Palapa 1976, kita kini tak mungkin lepas dari ketergantungan pada teknologi satelit. Bukan hanya sekadar telekomunikasi, melainkan untuk penginderaan jauh dan navigasi. Lapan sebagai lembaga pemerintah untuk litbang keantariksaan telah merintis pembuatan satelit yang kini telah berada di orbit pada ketinggian 630 km, Satelit LAPAN-TUBsat.

Kini, Lapan sedang mempersiapkan satelit Twinsat (LAPAN-A2 dan LAPAN-Orari) yang diharapkan dapat diluncurkan tidak lama lagi. Kemandirian pembuatan roket peluncur satelit kini juga sedang diupayakan. Upaya-upaya tersebut dengan dukungan penguasaan teknologi penginderaan jauh dan sains kedirgantaraan, berorientasi pada peningkatan kemandirian dan kesejahteraan bangsa. “Upaya itu juga sebagai realisasi tantangan Al-Quran yakni menembus penjuru langit dan bumi”, tegasnya.

Di sisi lain, pemenuhan keingintahuan ini mendorong manusia untuk mengkaji rahasia alam. Al-Quran merangkum asal-usul alam semesta itu dengan isyarat tentang ”enam hari penciptaan”. Sains yang dikembangkan dalam mengkaji fenomena alam mencoba memahami isyarat ungkapan-ungkapan dalam Al-Quran.

Proses penciptaan alam dalam enam masa digambarkan yaitu dua masa untuk menciptakan langit sejak berbentuk dukhan (campuran debu dan gas), dua masa untuk menciptakan bumi, dan dua masa (empat masa sejak penciptaan bumi) untuk memberkahi bumi dan menentukan makanan bagi penghuninya.

Al-Quran memberi isyarat banyak fenomena alam yang menjadi tantangan sains untuk mengungkapkannya. “Dalam Islam, sains bukan semata untuk kepentingan intelektual menjawab keingintahuan manusia, melainkan juga bisa digunakan membantu menyempurnakan kualitas ibadah, tanpa mencampuri keyakinan dalil syar’i yang diyakini masing-masing,” tutupnya.


Sumber :
http://www.lapan.go.id/doc_news/BK.html

Bukti Keberadaan Air di Permukaan Bulan


Data baru dari wahana Deep Impact dan Moon Mineralogy Mapper (M3), instrumen yang dibawa oleh wahana milik India yang baru saja menghakhiri misinya di Bulan, Chandrayaan-1, untuk pertama kalinya menyajikan bukti yang jelas bahwa air ternyata eksis di permukaan Bulan.

“Observasi oleh wahana Deep Impat terhadap permukaan bulan tidak hanya tegas-tegas mengkonfirmasi keberadaan OH/H2O di permukaan bulan, melainkan juga mengungkap bahwa keseluruhan permukaan bulan terbasahi setidaknya pada sebagian sisi permukaan bulan yang mengalami siang hari,” demikian tulis Jessica Sunshine, astronom dari University of Maryland yang juga penulis utama dari paper mengenai data dari wahana Deep Impact yang diterbitkan pada jurnal Science pada 24 September lalu.

Sejumlah kecil air menghasilkan kegembiraan besar. “Menemukan air di bulan di siang hari adalah kejutan besar, bahkan apabila hanya sedikit air dan hanya dalam bentuk molekul yang menempel di tanah,” jelas Sunshine. Pandangan ilmiah selama ini menyatakan bahwa kemungkinan tidak ada air di permukaan Bulan, dan sekalipun ada, hanya dapat ditemui di kawah yang berbayang dan dingin secara permanen di kutub bulan.

“Dalam data dari Deep Impact, kita pada dasarnya menyaksikan molekul air membentuk dan kemudian menghilang tepat di depan mata kita,” kata Sunshine, yang mengatakan reaksi pertamanya terhadap data M3 adalah skeptis.

“Kami tidak yakin bagaimana hal ini terjadi,” katanya, “tapi temuan kami menunjukkan sebuah siklus yang didorong oleh matahari dimana lapisan air yang hanya setebal beberapa molekul membentuk, menghilang dan kembali membentuk setiap hari di permukaan bulan. Kami berpendapat bahwa ion hidrogen dari matahari yang dibawa oleh angin matahari ke Bulan telah berinteraksi dengan mineral yang kaya oksigen dalam tanah bulan untuk menghasilkan molekul air [H2O] dan hidroksil [OH] yang ditunjukkan secara meyakinkan melalui analisa spektral. Dalam sebuah siklus yang terjadi seluruhnya di siang hari, air ini terbentuk di pagi hari, secara substansial hilang pada tengah hari, dan kembali terbentuk saat permukaan bulan mendingin menjelang malam hari.

“Jika hal ini benar, maka hidrasi melalui angin surya diperkirakan akan terjadi di seluruh Tata Surya bagian dalam pada semua objek hampa udara dengan mineral yang mengikat oksigen pada permukaannya,” kata Sunshine.

“Dalam konteks sains Bulan, ini adalah penemuan besar,” tegas Paul G. Lucey, seorang ilmuwan planet dari University of Hawaii dalam sebuah artikel yang dimuat di harian Los Angeles Times.

“Tidak ada bukti yang dapat diterima bahwa terdapat air di permukaan bulan, [tapi] kini telah ditunjukkan bahwa hal itu dengan mudah dapat dideteksi melalui metode yang sangat sensitif. Sebagai ilmuwan yang mempelajari bulan, saat saya membaca tentang ini, saya merasa sangat senang,” jelas Lucey, yang tidak terlibat dalam riset tersebut.

Walaupun instrumen M3 dan tim sainsnya telah membuat penemua awal mengenai keberadaan air di sejumlah area di permukaan Bulan, Sunshine dan para co-author dari paper Deep Impact menyatakan bahwa bukti konklusif dari penemuan air, pemahaman bahwa itu adalah fenomena yang terjadi di seluruh permukaan, dan pengetahuan bahwa itu adalah proses yang bergantung pada suhu hanya dimungkinkan berkat data yang dikumpulkan oleh wahana Deep Impat dalam misi lanjutannya saat ini (dengan nama Extrasolar Planet Observation and Deep Impact Extended Investigation, EPOXI).

Deep Impact tidak didesain untuk mempelajari Bulan, namun untuk misi yang terkenal pada 2005, dimana wahana ini berhasil melubangi permukaan komet Tempel 1 untuk mencari tahu apa yang ada didalamnya. Data mengenai air di permukaan bulan diambil sebagai bagian dari kesempatan melakukan kalibrasi pada perlintasan dengan Bumi dan Bulan yang terjadi pada Juni 2009 dan Desember 2007 guna mendapatkan dorongan gravitasi untuk mencapai komet kedua dalam misinya, Hartley 2, yang akan dicapainya pada November 2010 mendatang.

“Tanpa rentang spektral dari instrumen Deep Impact, penemuan air di permukaan oleh M3 tidak akan sampai sedemikian definitif, dan karena wahana Deep Impact melakukan observasi pada waktu-waktu yang berbeda dari siang hari di Bulan, efek dari temperatur menjadi lebih jelas terlihat,” jelas Sunshine.

Astronom dari University of Maryland, Michael A’Hearn, pimpinan tim sains Deep Impact dan EPOXI, dan salah satu dari empat co-author Sunshine menyatakan, “Saya pikir, adalah sangat hebat bahwa wahana Deep Impact, yang pernah menjadi yang pertama mendeteksi es pada inti sebuah komet, kini mendemonstrasikan eksistensi keberadaan air di Bulan.”

“Wahana dan instrumen yang hebat ini terus membuat penemuan yang penting dan tak terduga, lama setelah misi utamanya selesai,” lanjutnya. (newsdesk.umd.edu)


Sumber :
http://ias.dhani.org/2009/10/03/bukti-keberadaan-air-di-permukaan-bulan/
3 Oktober 2009

Sumber Gambar:
http://physics.uoregon.edu/~soper/ImMoon/moon.gif

Galaksi Bimasakti




Terdapat banyak bintang, nebula, dan gugus bintang yang bisa diamati di langit setiap malamnya. Semua objek tersebut berada di dalam galaksi kita. Di beberapa bagian bintang nampak padat sehingga ketika langit cerah, bersih dari awan, dan kondisi sekitar yang gelap, kita bisa melihat pita berwarna putih yang memanjang dan melintasi beberapa rasi seperti Sagittarius (arah pusat Galaksi), Scorpius, Ophiucus, Aquila, Cassiopeia, Auriga, Crux, dan Centaurus. Sementara di bagian yang lain tampak celah-celah gelap yang menunjukkan adanya materi antar bintang yang tebal. Itulah (bidang) galaksi yang kita tinggali. Bentuknya yang seperti itu kemudian menginspirasi orang untuk menamakannya dengan sebutan Milky Way. Kata galaksi dan milky way itu sendiri diadaptasi dari bahasa Yunani “galaxias” dan Latin “via lactea” dengan kata dasar lactea yang berarti susu. Sedangkan menurut orang Indonesia, galaksi kita diberi nama Bimasakti. Menurut salah satu sumber dari Observatorium Bosscha, sejarah penamaan ini berasal ketika Presiden RI pertama, Soekarno, ditunjukkan citra galaksi oleh salah seorang astronom Indonesia. Ternyata, Soekarno melihat salah satu bagian gelap di foto tersebut menyerupai tokoh Bima Sakti. Namun tidak diketahui bagian gelap mana yang dimaksud.



Galaksi Bimasakti di malam hari (Axel Mellinger)

Galaksi adalah tempat berkumpulnya bintang-bintang di alam semesta. Hampir tidak ditemukan adanya bintang yang berkelana sendiri di ruang antar galaksi. Dan Matahari termasuk di antara 200 milyar bintang di Galaksi Bimasakti (disingkat dengan Galaksi). Dengan asumsi bahwa rata-rata massa bintang di Galaksi adalah sebesar massa Matahari, maka massa Galaksi dapat mencapai 2 x 10^11 massa Matahari (massa Matahari adalah 2 x 10^30 kg).

Bentuk galaksi Bimasakti seperti dua buah piring cekung yang ditangkupkan, bagian tengahnya tebal dan semakin pipih ke arah tepi, dan terdapat lengan-lengan spiral di dalamnya. Oleh karena itu Galaksi kita digolongkan ke dalam galaksi spiral. Berdasarkan klasifikasi galaksi Hubble, galaksi Bimasakti termasuk dalam kelas SBbc. Artinya, Galaksi kita adalah galaksi spiral yang memiliki “bar” atau palang di bagian pusatnya, dengan kecerlangan bagian pusat yang relatif sama dengan bagian piringan, dan memiliki struktur lengan spiral yang agak renggang di bagian piringannya.



Gambaran Galaksi Bimasakti terbaru (NASA/JPL-Caltech)

Galaksi spiral tersusun atas 3 bagian utama, yaitu bagian bulge, halo, dan piringan. Ketiganya memiliki bentuk, ukuran, dan objek penyusun yang berbeda-beda. Bahkan, bagian bulge dan piringan menjadi penentu dalam klasifikasi galaksi yang dibuat oleh Hubble (diagram garpu tala).

Bagian bulge adalah daerah di galaksi yang kepadatan bintangnya paling tinggi. Bintang-bintang tua lebih banyak ditemukan daripada bintang muda, karena sangat sedikit materi pembentuk bintang yang terdapat di sini. Bulge ini berbentuk elipsoid seperti bola rugby. Bintang-bintang di dalamnya bergerak dengan kecepatan tinggi dan orbit yang acak, tidak sebidang dengan bidang galaksi. Dari perhitungan kecepatan orbit bintang-bintang di dalamnya, diperoleh kesimpulan bahwa terdapat sebuah benda bermassa sangat besar yang berada di pusat Galaksi yang jauh lebih besar daripada perkiraan sebelumnya. Benda tersebut diyakini adalah sebuah lubang hitam supermasif, yang diperkirakan terdapat di bagian pusat semua galaksi spiral. Termasuk juga di galaksi Andromeda, galaksi spiral terdekat dari Galaksi kita.

Komponen kedua adalah halo. Berbentuk bola, ukuran komponen ini sangat besar hingga jauh membentang melingkupi bulge dan piringan, bahkan mungkin lebih jauh daripada batas terluar piringan galaksi yang bisa kita amati. Objek yang menjadi penyusun halo dibagi menjadi dua kelompok, yaitu stellar halo dan dark halo. Yang dimaksud dengan stellar halo adalah bintang-bintang yang berada di bagian halo. Namun hanya sedikit ditemukan bintang individu di bagian ini. Yang lebih dominan adalah kelompok bintang-bintang tua yang jumlah bintang anggotanya mencapai jutaan buah, yang disebut dengan gugus bola (globular cluster).

Di bagian piringan terdapat bintang-bintang muda serta gas dan debu antar bintang yang terletak di lengan spiral. Banyak ditemukannya bintang muda dan gas antar bintang sangat berkaitan erat, karena gas adalah materi utama pembentuk bintang. Di beberapa lokasi bahkan ditemukan bintang-bintang muda yang masih diselimuti gas, yang menandakan bahwa bintang-bintang tersebut baru terbentuk. Sedangkan banyaknya debu di piringan membuat pengamat di Bumi kesulitan untuk melakukan pengamatan visual di sekitar bidang Galaksi, terutama ke arah pusat Galaksi (lihat gambar di atas). Karenanya, pengamatan di sekitar bidang Galaksi akan memberikan hasil yang lebih baik jika dilakukan di daerah panjang gelombang radio dan infra merah yang tidak terpengaruh oleh debu antar bintang (lihat gambar di bawah).


Galaksi Bimasakti dalam panjang gelombang infra merah dekat (NASA-LAMBDA)

Seberapa besar Galaksi kita? Di bagian pusat Galaksi, bulge hanya memiliki diameter 6 kpc dan tebal 4 kpc (kpc = kiloparsek, 1 parsek = 3,26 tahun cahaya = 206265 SA = 3,086 x 10^13 km). Jarak dari pusat hingga ke bagian tepi Galaksi (jari-jari) adalah 15 kpc dengan ketebalan rata-rata sebesar 300 pc. Sedangkan Matahari berada pada jarak 8 kpc dari pusat. Di posisi itu, Matahari sedang bergerak mengelilingi pusat Galaksi dengan bentuk orbit yang hampir melingkar. Laju orbitnya adalah sekitar 250 km/detik sehingga matahari memerlukan waktu 220 juta tahun untuk berkeliling satu kali. Jika umur matahari adalah 4,6 milyar tahun, berarti tata surya kita sudah mengorbit pusat Galaksi sebanyak 20 kali.

Galaksi kita sebenarnya berada pada sebuah kelompok galaksi yang disebut dengan Grup Lokal, yang ukurannya mencapai 1 MPc dan beranggotakan lebih dari 30 galaksi. Galaksi spiral yang ada di kelompok ini hanya tiga, yaitu Bimasakti, Andromeda, dan Triangulum. Sisanya adalah galaksi yang lebih kecil dengan bentuk elips atau tak beraturan. Grup Lokal ini termasuk kelompok galaksi yang dinamis. Maksudnya adalah bahwa galaksi-galaksi di kelompok ini mengalami interaksi gravitasi, termasuk Galaksi kita dengan galaksi Andromeda. Interaksi tersebut diperkirakan akan mengakibatkan terjadinya tabrakan antara Galaksi kita dengan Andromeda dan kemudian membentuk galaksi elips. Namun jangan terlalu khawatir karena peristiwa tersebut tidak akan terjadi hingga 2 milyar tahun lagi.


Sumber :
http://duniaastronomi.com/2009/03/galaksi-bimasakti/
Maret 2009

Profil dan Sejarah Observatorium Bosscha


Profil

Observatorium Bosscha adalah sebuah Lembaga Penelitian dengan program-program spesifik. Dilengkapi dengan berbagai fasilitas pendukung, obervatorium ini merupakan pusat penelitian dan pengembangan ilmu astronomi di Indonesia. Sebagai bagian dari Fakultas MIPA - ITB, Observatorium Bosscha memberikan layanan bagi pendidikan sarjana dan pascasarjana di ITB, khususnya bagi Program Studi Astronomi, FMIPA - ITB. Penelitian yang bersifat multidisiplin juga dilakukan di lembaga ini, misalnya di bidang optika, teknik instrumentasi dan kontrol, pengolahan data digital, dan lain-lain. Berdiri tahun 1923, Observatorium Bosscha bukan hanya observatorium tertua di Indonesia, tapi juga masih satu-satunya obervatorium besar di Indonesia.

Observatorium Bosscha adalah lembaga penelitian astronomi moderen yang pertama di Indonesia. Observatorium ini dikelola oleh Institut Teknologi Bandung dan mengemban tugas sebagai fasilitator dari penelitian dan pengembangan astronomi di Indonesia, mendukung pendidikan sarjana dan pascasarjana astronomi di ITB, serta memiliki kegiatan pengabdian pada masyarakat.

Observatorium Bosscha juga mempunyai peran yang unik sebagai satu-satunya observatorium besar di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara sampai sejauh ini. Peran ini diterima dengan penuh tanggung-jawab: sebagai penegak ilmu astronomi di Indonesia.

Dalam program pengabdian masyarakat, melalui ceramah, diskusi dan kunjungan terpandu ke fasilitas teropong untuk melihat objek-objek langit, masyarakat diperkenalkan pada keindahan sekaligus deskripsi ilmiah alam raya. Dengan ini Observatorium Bosscha berperan sebagai lembaga ilmiah yang bukan hanya menjadi tempat berpikir dan bekerja para astronom profesional, tetapi juga merupakan tempat bagi masyarakat untuk mengenal dan menghargai sains. Dalam terminologi ekonomi modern, Observatorium Bosscha berperan sebagai public good.

Tahun 2004, Observatorium Bosscha dinyatakan sebagai Benda Cagar Budaya oleh Pemerintah. Karena itu keberadaan Observatorium Bosscha dilindungi oleh UU Nomor 2/1992 tentang Benda Cagar Budaya. Selanjutnya, tahun 2008, Pemerintah menetapkan Observatorium Bosscha sebagai salah satu Objek Vital nasional yang harus diamankan.

Observatorium Bosscha berperan sebagai homebase bagi penelitian astronomi di Indonesia.


Sejarah

Observatorium Bosscha (dahulu bernama Bosscha Sterrenwacht) dibangun oleh Nederlandsch-Indische Sterrenkundige Vereeniging (NISV) atau Perhimpunan Bintang Hindia Belanda. Pada rapat pertama NISV, diputuskan akan dibangun sebuah observatorium di Indonesia demi memajukan Ilmu Astronomi di Hindia Belanda. Dan di dalam rapat itulah, Karel Albert Rudolf Bosscha, seorang tuan tanah di perkebunan teh Malabar, bersedia menjadi penyandang dana utama dan berjanji akan memberikan bantuan pembelian teropong bintang. Sebagai penghargaan atas jasa K.A.R. Bosscha dalam pembangunan observatorium ini, maka nama Bosscha diabadikan sebagai nama observatorium ini.

Pembangunan observatorium ini sendiri menghabiskan waktu kurang lebih 5 tahun sejak tahun 1923 sampai dengan tahun 1928.

Publikasi internasional pertama Observatorium Bosscha dilakukan pada tahun 1933. Namun kemudian observasi terpaksa dihentikan dikarenakan sedang berkecamuknya Perang Dunia II. Setelah perang usai, dilakukan renovasi besar-besaran pada observatorium ini karena kerusakan akibat perang hingga akhirnya observatorium dapat beroperasi dengan normal kembali.

Kemudian pada tanggal 17 Oktober 1951, NISV menyerahkan observatorium ini kepada pemerintah RI. Setelah Institut Teknologi Bandung (ITB) berdiri pada tahun 1959, Observatorium Bosscha kemudian menjadi bagian dari ITB. Dan sejak saat itu, Bosscha difungsikan sebagai lembaga penelitian dan pendidikan formal Astronomi di Indonesia.


Sumber :
http://bosscha.itb.ac.id/tentang-bosscha.html


Sumber Gambar:
http://bosscha.itb.ac.id/component/jmultimedia/?layout=default&view=media&id=13

Penemuan Planet Layak Huni Pertama Selain Bumi

Si kerdil ternyata membawa kehidupan juga loh!

Untuk pertama kalinya, astronom akhirnya menemukan planet yang mirip Bumi di luar Tata Surya, sebuah planet ekstrasolar dengan radius 50% lebih besar dari bumi dan mampu memiliki air dalam bentuk cair. Penemuan ini memberi sebuah harapan baru dan sebuah langkah maju dalam usaha pencarian planet-planet yang bisa digolongkan sebagai planet layak huni. Dengan menggunakan teleskop ESO 3,6 m, tim pemburu planet dari Swiss, Perancis dan Portugal akhirnya menemukan super-Bumi yang massanya 5 kali massa Bumi dan mengorbit bintang katai merah, yang sebelumnya diketahui telah memiliki planet bermassa Neptunus. Para astronom juga menemukan bukti kuat yang menunjukkan indikasi keberadaan planet ketiga dengan massa 8 kali massa Bumi.


Planet Gliese 581 c



Planet Gliese 581 c planet yang diduga mirip Bumi. kredit : ESO

Exoplanet, itulah cara para astronom dalam menyebut planet yang berada disekitar bintang selain Matahari. Nah, exoplanet yang baru ditemukan ini merupakan exoplanet terkecil yang pernah ditemukan hingga saat ini dan ia bisa mengitari bintangnya hanya dalam 13 hari. Dan jaraknya juga 14 kali lebih dekat dari jarak Bumi -Matahari. Bintang induknya sendiri ternyata bukanlah bintang sekelas Matahari melainkan bintang katai merah yang lebih kecil, kebih dingin dan lebih redup dibanding Matahari. Itulah bintang Gliese 581, bintang yang menaungi si exoplanet mirip Bumi tersebut.

Si exoplanet yang mirip Bumi ini terletak di dalam area layak huni sang bintang (berada dalam habitable zone bintang – akan dibahas dalam artikel yang lain), daerah disekitar bintang dimana air yang berada pada area itu bisa berada dalam bentuk cairan. Exoplanet tersebut dinamakan Gliese 581 c yang artinya planet kedua yang bermukim di bintang Gliese 581. Planet pertama dalam extrasolar planet dinamakan dengan nama bintang dan diikuti indikasi b, bintang kedua indikasinya c dst.

Menurut Stephane Udry dari Geneva Observatory, mereka memperkirakan temperatur rata-rata super-Bumi ini antara 0 – 40 derajat Celcius, dan kondisi airnya masih dalam bentuk cairan. Selain itu radiusnya juga diperkirakan hanya 1,5 kali radius Bumi, dan dari pemodelannya bisa diperkirakan kalau planet ini merupakan planet batuan seperti Bumi atau bisa jadi Gliese 581 c adalah planet lautan.

Ditambahkan oleh Xavier Delfosse, salah satu anggota tim dari Perancis, kalau air dalam bentuk cair merupakan komponen yang sangat penting bagi kehidupan sepanjang yang kita ketahui. Dengan memiliki temperatur dan jarak yang relatif dekat seperti yang dimiliki Gliese 581 c, planet ini kemungkinan akan menjadi target penting dalam misi ruang angkasa di masa depan khususnya dalam hal pencarian kehidupan extra-terrestrial. Dan di dalam peta harta karun alam semesta, Gliese 581 c akan ditandai dengan X.

- perlu diingat perbandingan kehidupan itu sendiri akan selalu mengacu pada kehidupan di Bumi.-

Gilese 581
Bintang induk Gliese 581 merupakan satu diantara 100 bintang yang berada dekat dengan kita. Massa dan radiusnya hanya sepertiga massa Matahari. Planet katai merah seperti ini secara intrinsik memiliki kecerlangan setidaknya 50 kali lebih lemah dari Matahari. Bintang katai merah juga termasuk bintang yang umum ditemukan di dalam galaksi kita (Bimasakti) : diantara 100 bintang dekat dengan Matahari, 80 diantaranya berada di kelas ini.

Gl 581, atau Gliese 581, merupakan bintang ke 581 dalam urutan Katalog Gliese yang merupakan susunan bintang yang berada dalam jarak 25 parsecs (81,5 tahun cahaya) dari bintang. Katalog tersebut dibuat oleh Gliese dan diterbitkan pada tahun 1969 dan diperbaharui tahun 1991 oleh Gliese dan Jahreiss. Gliese 581 sendiri jaraknya 6,26 parsecs (22,66 tahun cahaya) berada di konstelasi Libra dan usianya 4,3 milyar tahun.

Menurut Xavier Bonfils dari Lisbon University, Bintang katai merah merupakan target ideal dalam pencarian planet bermassa kecil yang memiliki air dalam bentuk cair. Hal ini disebabkan karena bintang katai seperti ini memancarkan sedikit cahaya sehingga daerah layak huninya (habitable zone) berada lebih dekat dengan bintang dibanding planet-planet disekitar Matahari.

Planet-planet yang berada di daerah tersebut akan lebih mudah dideteksi dengan menggunakan metode kecepatan radial, metode yang paling sukses dalam pencarian dan deteksi exoplanet.

Planet Lainnya di Gliese 581
Dua tahun lalu, tim astronom yang sama juga menemukan planet yang mengelilingi Gliese 581. Planet yang dikenal dengan nama Gliese 581 b memiliki massa 15 massa Bumi, dan mirip dengan Neptunus. Ia mengorbit Gliese 581 hanya menghabiskan waktu 5,4 hari. Pada saat itu astronom juga sudah melihat adanya indikasi planet lain disekitar tempat itu. Dan setelah pencarian yang lebih lanjut, ditemukan planet super-Bumi, tapi bukan hanya itu, ada juga indikasi yang sangat jelas menunjukkan kalau ditempat itu ada planet ketiga. Planet ketiga tersebut memiliki massa 8 kali massa Bumi dan menyelesaikan putaran orbitnya dalam waktu 84 hari.

Sistem keplanetan di Gliese 581 sedikitnya telah memiliki 3 buah planet dengan massa kurang lebih 15 massa Bumi, dan ini bisa dikatakan merupakan sistem yang luar biasa. Selama ini pencarian exoplanet paling banyak dilakukan pada bintang yang sekelas Matahari.

Metode Pengamatan
Penemuan Gliese 581 c ini dilakukan dengan menggunakan metode kecepatan radial. Metode kecepatan radial mendeteksi perubahan kecepatan bintang induk yang diakibatkan oleh gaya gravitasi dari exoplanet (yang tak terlihat) saat ia mengorbit bintangnya. Evaluasi pengukuran kecepatan akan memberi deduksi tentang orbit planet, biasanya bisa diketahui periode dan jarak dari bintang, serta massa minimumnya. Secara statistik, massa minimum ini mendekati massa yang sebenarnya.

Penemuan ini dilakukan menggunakan spektograf HARPS (High Accuracy RAdial Velocity for the Planetary Searcher), teleskop ESO 3,6 m di La Silla, Chille. HARPS bisa mengukur kecepatan dengan presisi lebih baik dari 1 meter per detik (3,6 km/jam). Dalam pendeteksian ini, variasi kecepatan yang terdeteksi antara 2 dan 3 meter per detik atau setara dengan 9 km/jam. Dari 13 planet yang massanya dibawah 20 massa Bumi, 11 diantaranya ditemukan dengan HARPS.

Selain Gliese 581 c ada dua sistem lain yang memiliki massa kecil juga, yakni planet es yang mengitari OGLE-2005-BLG-390L, yang ditemukan dengan jaringan teleskop microlensing. Massa planet tersebut 5,5 massa Bumi. Namun planet tersebut orbitnya lebih jauh dari bintang induknya yang kecil dibanding jarak Gliese 581 c dengan bintangnya. Selain itu planet yang mengitari OGLE-2005-BLG-390L juga lebih dingin.

Planet lainnya memiliki massa minimum 5,89 massa Bumi (dengan kemungkinan massa benarnya 7,53 massa Bumi) dan periode orbitnya kurang dari 2 hari, hal ini menyebabkan si planet terlalu panas untuk masih memiliki air di permukaannya.

Penemuan Gliese 581 c memberi satu titik cerah dalam masalah pencarian planet-planet yg mirip Bumi didalam zona layak huni bintang. Tapi untuk tiba pada apakah ada kehidupan lain disana atau mungkinkah kita hidup disana masih ada banyak hal yang perlu dijawab.


Sumber :
http://langitselatan.com/2007/04/26/penemuan-planet-layak-huni-pertama-selain-bumi/
26 April 2007

Langit yang Mengembalikan


Ayat ke-11 dari Surat Ath Thaariq dalam Al Qur'an, mengacu pada fungsi "mengembalikan" yang dimiliki langit.

"Demi langit yang mengandung hujan." (Al Qur'an, 86:11)

Kata yang ditafsirkan sebagai "mengandung hujan" dalam terjemahan Al Qur'an ini juga bermakna "mengirim kembali" atau "mengembalikan".

Sebagaimana diketahui, atmosfir yang melingkupi bumi terdiri dari sejumlah lapisan. Setiap lapisan memiliki peran penting bagi kehidupan. Penelitian mengungkapkan bahwa lapisan-lapisan ini memiliki fungsi mengembalikan benda-benda atau sinar yang mereka terima ke ruang angkasa atau ke arah bawah, yakni ke bumi. Sekarang, marilah kita cermati sejumlah contoh fungsi "pengembalian" dari lapisan-lapisan yang mengelilingi bumi tersebut.

Lapisan Troposfir, 13 hingga 15 km di atas permukaan bumi, memungkinkan uap air yang naik dari permukaan bumi menjadi terkumpul hingga jenuh dan turun kembali ke bumi sebagai hujan.

Lapisan ozon, pada ketinggian 25 km, memantulkan radiasi berbahaya dan sinar ultraviolet yang datang dari ruang angkasa dan mengembalikan keduanya ke ruang angkasa.

Ionosfir, memantulkan kembali pancaran gelombang radio dari bumi ke berbagai belahan bumi lainnya, persis seperti satelit komunikasi pasif, sehingga memungkinkan komunikasi tanpa kabel, pemancaran siaran radio dan televisi pada jarak yang cukup jauh.

Lapisan magnet memantulkan kembali partikel-partikel radioaktif berbahaya yang dipancarkan Matahari dan bintang-bintang lainnya ke ruang angkasa sebelum sampai ke Bumi.

Sifat lapisan-lapisan langit yang hanya dapat ditemukan secara ilmiah di masa kini tersebut, telah dinyatakan berabad-abad lalu dalam Al Qur'an. Ini sekali lagi membuktikan bahwa Al Qur'an adalah firman Allah.


Sumber :
http://www.keajaibanalquran.com/astronomy_returning.html

Perilaku Aneh Matahari Bingungkan Ilmuwan


Temperatur dan alur matahari menurut siklus yang cukup bisa diprediksi. Namun baru-baru ini, bintang terdekat dengan bumi ini telah bertingkah.

Matahari secara teratur berinteraksi dengan bumi sehingga penting bagi para ahli fisika matahari untuk terus memahami aktivitas matahari. Periode badai matahari dapat mengganggu keamanan satelit dan jaringan listrik.

Tidak hanya itu, astronot dapat terkena dampak dari semburan radiasi akibat badai matahari, oleh karena itu, para ahli harus mendapatkan prediksi lengkap soal ini.

“Kami sedang mengamati sesuatu yang tidak biasa dari apa yang kami lihat selama 100 tahun ini,” kata David Hathaway dari Marshall Space Flight Center, NASA, di Huntsville, Alaska.

Dalam sebuah konferensi, 4 ahli fisika matahari menampilkan 4 metode berbeda untuk mengukur dan memahami siklus matahari.

Bintik matahari merupakan area konsentrasi magnetis yang muncul seperti bintik hitam di permukaan matahari. Alur aktivitas magnetis matahari sangat berkaitan dengan bintik matahari yang membentuk siklus matahari.

Secara umum, siklus terakhir sekitar 11 tahun dan membutuhkan 5,5 tahun untuk bergerak dari siklum minimum matahari periode di mana hanya terdapat sedikit bintik matahari. Selanjutnya bintik terus bertambah maksimum.

“Siklus terbaru merupakan kondisi minimum yang tidak biasa dari jumlah tertinggi tanpa bintik matahari yang diamati peneliti sejak 1913,” ujar Hathaway.

Hathaway dan tim peneliti melakukan pengukuran yang disebut meridional flow di mana sirkulasi materi bintang dari kutub matahari berputar di sekitaran kutub tersebut. Alur ini sering berdampak pada kekuatan siklus.

Ilmuwan menjelaskan perubahan dalam struktur alur ini serta level aktivitas geomagnetis berkaitan dengan frekuensi minimum dan maksimum dari siklus matahari.

Dalam pendekatan yang berbeda, Sushanta Tripathy dari National Solar Observatory menggunakan frekuensi dari osilasi akustik untuk melihat ciri dari perubahan siklus aktivitas matahari.

Tripathy menemukan bahwa perubahan frekuensi akustik, di sebagian besar tempat berkaitan dengan aktivitas matahari. Namun selama pergerakan minimum, ia menyadari bahwa frekuensi gelombang yang menyelimuti sebagian besar wilayah matahari menyebabkan ini keluar dari jalur aktivitas matahari.

Dua bentuk gempa telah terdeteksi menggunakan osilasiakustik yang belum pernah dilihat pada siklus sebelumnya, ujar Tripathy yang memimpin penelitian perpanjanganan minimum antara siklus 23 dan 24 yang tidak biasa.

Frank Hill yang juga berasal dari National Solar Observatory melakukan pendekatan yang berbeda dengan memprediksi siklus bintik matahari berdasarkan fenomena di matahari yang berkaitan dengan arus pancaran di matahari.

Aliran timur-barat di permukaan matahari pertama kali ditemukan pada 1980 dan dikenal sebagai torsional oscillation. Arus pancaran ini hadir di kedalaman setidaknya 105 ribu kilometer di bawah permukaan matahari. Dan Hill bersama tim penelitinya mampu menjelaskan perilaku ini di kedalaman 966 kilometer.

Ini menunjukkan bahwa aliran muncul dengan baik sebelum level dari aktivitas matahari meningkat. Ini mendorong peneliti menyimpulkan adanya hubungan beberapa mekanisme yang memicu kemunculan sebelum aktivitas onset.

Sementara pengamatan atas arus pancaran matahari ini dapat berguna untuk memprediksi waktu siklus matahari, namun dibutuhkan data yang lebih lengkap untuk memastikan akurasi metode ini.

Di pendekatan lain, Julia Saba dari SP System dan Goddard Space Flight Center, NASA, di Greenbelt, menggunakan X-Ray dan indikator kekuatan lahan magnetis sebagai cara memprediksi waktu penanda bagi siklus matahari ini.

Saba menggunakan pemetaan magnetis dari matahari yang disebut synoptic charts untuk mengamati siklus matahari ke 21 hingga 23 dan 24. Dengan mengevaluasi kecendrungan dalam aktivitas X-Ray, Saba mampu memprediksi kejadian sekitar 18 bulan mendatang dan akan lebih akurat setidaknya 2 bulan.

“Pada bulan Mei 2010, kita melihat siklus 24 secara jelas di bawah jalur, meskipun saat ini cukup sunyi di wilayah selatan pada umumnya,” ujar Saba.

Metode penentuan siklus lebih awal ini dapat berguna untuk membandingkan fase berbeda dari aktivitas matahari karena ini dapat diamati dalam waktu yang berdekatan, jelas Saba.[ito]


Sumber :
Ellyzar Zachra PB
http://www.inilah.com/news/read/teknologi/2010/06/19/610311/perilaku-aneh-matahari-bingungkan-ilmuwan/
19 Juni 2010

'Tsunami Matahari' Mengarah ke Bumi Hari Ini

Ledakan Matahari yang mengarah ke Bumi berpotensi mengirimkan 'tsunami Matahari'. Peristiwa ini diperkirakan akan memicu penampakan spektakuler aurora atau cahaya di Utara dan Selatan Bumi.




Sumber :
http://video.vivanews.com/read/10285--tsunami-matahari--mengarah-ke-bumi-hari-ini_1
3 Agustus 2010